Selasa, 28 Oktober 2008

“GRAND DISAIN PENYELAMATAN HUTAN INDONESIA”

DEWASA ini sektor kehutanan sedang menghadapi permasalahan yang sangat berat dengan skala multi-dimensional yang disebabkan oleh:
-Praktik penebangan liar (illegal logging)
-Penyelundupan kayu
-Terjadinya kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun
-Konflik kawasan
-Perambahan hutan
-Tumpang tindih peraturan perundangan, sehingga menyisakan lahan kritis (terdegradasi)
seluas sekitar 43 juta hektar pada 458 DAS.
-Pembukaan lahan dengan melakukan tebang habis dan pembakaran masih merupakan sebuah
alternatif land clearing yang paling murah, mudah dan cepat.
-Kurang lebih 48,8 juta penduduk tinggal di sekitar kawasan hutan dan 10,2 juta
diantaranya miskin. Penduduk yang yang bermata pencaharian langsung dari dari hutan
sekitar 6 juta juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang diantaranya bekerja di di sektor
swasta kehutanan.

Untuk mengatasi salah satu problema di atas, kebakaran hutan misalnya, kita tidak pernah mampu mengatasinya. Padahal dana yang terbuang ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Memadamkan kebakaran hutan dan lahan memang bukan tanpa hambatan. Luasnya kawasan terbakar dan lokasi hot spot yang sulit dijangkau, tidak seimbang dengan kekuatan personil, peralatan yang tersedia dan keterbatasan teknologi pemadaman. Ada juga yang berpendapat, sebenarnya kebakaran hutan dan lahan diawali oleh kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kemudian keterbatasan itu dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang bermodal besar untuk membantu land clearing dengan cara membakar. Karena itu ada asumsi, ketika kemiskinan belum teratasi maka dengan mudah masyarakat melakukan aktivitas membakar dengan dalih mendapatkan upah dari perusahaan atau sekadar membuka ladang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Kebakaran yang disebabkan oleh sektor kehutanan pada umumnya sangat kecil, sebab pengusaha hutan sangat berkepentingan untuk melindungi wilayah hak pengusahaan hutan mereka dari kebakaran. Namun dalam beberapa kasus, beberapa perusahaan kayu memang membakar hutan untuk memudahkan pembersihan lahan yang akan ditanam kembali. Selain itu, kebakaran di wilayah hutan kemungkinan terjadi disebabkan oleh rambatan api, akibat petani membuka lahan pertanian di areal sekitar hutan. Tingkat kerusakan bervariasi di areal yang berbeda, dari kebakaran bawah yang merambat perlahan di hutan primer sampai pengrusakan yang menyeluruh di areal yang baru saja dibalak dan di hutan-hutan rawa gambut. Sekitar 73.000 ha hutan-hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang bernilai komersial, mengalami kerusakan berat dan 2,1 juta ha lainnya mengalami kerusakan ringan atau sedang. Tingkat kerusakan kebakaran secara langsung berkaitan dengan tingkat degradasi hutan: hanya 11 persen dari hutan-hutan primer yang tidak dibalak pada areal yang dipengaruhi oleh kekeringan dan kebakaran yang sesungguhnya terbakar. Kerusakan terjadi sebatas vegetasi bawah, dan hutan sama sekali tertutup kembali menjelang tahun 1988. (Hess,1994). Sebaliknya, di kawasan yang luasnya hampir satu juta ha pada areal hutan 'yang dibalak secara sedang' (80% dibalak lebih dulu sebelum kebakaran), 84% hutan terbakar, dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih hebat (Schindler dkk, 1989). Suatu perkiraan menghitung biaya akibat kebakaran tahun 1982-1983 sekitar, 9 miliar dolar, dimana hampir 8,3 miliar dolar berasal dari hilangnya tegakan pohon (Hess,1994).

Kebakaran yang luas kembali terjadi beberapa kali dalam dekade berikutnya, setelah kebakaran hebat di Kaltim pada tahun 1982-1983. Lalu pada tahun 1991 terbakar (dibakar) hutan seluas 500.000 ha dan hampir 5 juta ha pada tahun 1994 (BAPPENAS, 1999). Walaupun berbagai studi mengenai kebakaran hutan sudah dilakukan, namun belum banyak kemajuan yang dicapai untuk mengatasi masalah ini di Indonesia. Alasannya antara lain kerancuan kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang dampaknya terhadap ekosistem, dan kekaburan tentang berbagai penyebab kebakaran hutan sebagai akibat ketidakpastian tanggapan secara ekonomi dan kelembagaan terhadap kebakaran hutan.

Setelah bencana El Niño Southern Oscillation (ENSO) 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati. Pencemaran kabut asap merupakan masalah berulang bahkan selama tahun-tahun ketika peristiwa ENSO di Indonesia dan negara-negara tetangganya tidak terjadi. Selama peristiwa ENSO 1997/98, Indonesia mengalami kebakaran hutan yang paling hebat di dunia. Masalah yang sama terulang pada tahun 2002. Kebakaran hutan dan lahan tempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi karbondioksida (CO2) terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan kuantitas emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton karbondioksida per tahunnya atau menyumbang sepuluh persen dari emisi karbondioksida di dunia. Dari pembersihan sampah dalam penebangan liar di lahan gambut saja, Indonesia menghasilkan 632 juta ton CO2 setiap tahunnya. Dari kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun, CO2 yang dihasilkan mencapat 1.400 juta ton. Jadi total sekitar 2.000 juta ton CO2 setiap tahunnya dari Indonesia. Demikian hasil penelitian Wetlands International, organisasi yang bergerak di bidang pelestarian dan pengelolaan lahan basah di dunia, serta laboratorium hidrolika di Delft, Belanda. Menurut Direktur Teknik Wetlands Internasional Indonesia Programme, I Nyoman Suryadiputra, efek dari kebakaran hutan sejak tahun 1998 ini telah merubah posisi Indonesia sebagai negara penghasil karbon dari urutan 21 menjadi urutan ketiga.

Dampak Degradasi dan Deforestasi
Aspek Ekologi: kekeringan, kebakaran hutan, banjir, erosi, tanah longsor, climate
change, hilangnya keanekaragaman hayati.
Aspek Ekonomi: berkurangnya ketersediaan bahan baku, menurunnya industri perkayuan,
menurunnya lapangan kerja, menurunnya pendapatan masyarakat, menurunnya
pendapatan negara.
Aspek Sosial: perubahan tata nilai, menguatnya potensi konflik sosial

Dampak selanjutannya mulai sejak tahun 1990 semakin menurunnya kontribusi sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, terindikasi dari jumlah unit pemanfaatan hutan dari 560 (1990) menjadi 270 (2002). Izin produksi juga menurun dari 27 jt m3 (1990) menjadi 5,8 jt m3 (2005). PNBP menurun dari Rp 3,33 triliun (1999) menjadi Rp 2,72 triliun (2003). Klaim internasional, Indonesia penyumbang CO2 terbesar ke-4 akibat degradasi dan konversi hutan.

Statement Menhut, MS Kaban: "Areal hutan gundul nasional seluas 59 juta ha dari total lahan hutan seluas 120 juta ha. Dibutuhkan waktu selama 60 tahun untuk melakukan rehabilitasi hutan gundul itu dengan catatan satu juta lahan direhabilitasi setiap tahun." Ada 762 titik rawan longsor di pulau Jawa tersebar di 5.075 desa di 69 kabupaten
Ada 458 DAS perlu prioritas: 60 DAS prioritas !, 222 DAS prioritas II, 176 DAS prioritas III

Perambahan kawasan huta zona inti DAS
Ada 11 provinsi berpotensi longsor dan banjir bandang
Sebanyak 410 kabupaten/kota di Indonesia tidak taat melaksanakan tata ruang yang mengatur peruntukan lahan Indonesia memiliki sedikitnya 90 satuan wilayah sungai, hanya sungai Brantas di Jawa Timur dan Jatiluhur di Jawa Barat yang mempunyai prasarana waduk yang memadai

TREND meningkatnya komoditas minyak sawit dari 2.200.000 ton/ tahun menjadi 40.000.000 ton pada tahun 2020. Jika permintaan itu akan dipenuhi, maka dibutuhkan 300.000 ha perkebunan baru yang harus ditanam setiap tahun selama 20 tahun mendatang. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit baru tersebut akan berada di lahan basah dan gambut, karena lahan kering yang disukai sudah habis digunakan. Bagian terbesar dari lahan baru tersebut berasal dari Indonesia, karena: banyak lahan dan tenaga kerja, Sumatera akan menampung 1.6 juta ha dari perluasan tersebut disebabkan oleh banyak tersedia sarana dan prasana yang relatif bagus dan memiliki pusat tenaga kerja terlatih.

Departemen Pertanian sangat mendukung perluasan perkebunan kelapa sawit, karena peluangnya:
-Sekitar 400 ribu karyawan dipekerjakan secara tetap oleh perkebunan. Lebih dari 500
ribu petani mendapat pendapatan dari pola kerjasama antara petani dan perkebunan
-Dengan sistem produksi hilir dan penambahan industri pelayanan, jumlah penduduk
(pekerja dan keluarganya) yang tergantung pada keberhasilan perkebunan kelapa sawit
tersebut di Indonesia sekitar 4,5 juta orang.
-Dari penjualan kelapa sawit saat ini menyumbangkan $1,7 miliar pada perekonomian
Indonesia (Sumatera $1,4 miliar). Angka tersebut diharapkan meningkat tajam dengan
pemulihan harga dari rendahnya harga selama kurun waktu 15 tahun.

Secara teori membangun perkebunan kelapa sawit bukanlah barang haram yang patut diganyang. Lihat saja naskah ideal dari Komisi Minyak Sawit Indonesia pada suatu lolakarya lokakarya dalam memberikan masukan pelaksanaan prinsip dan kriteria RSPO di perkebunan kelapa sawit rakyat di Riau pada 16 Agustus 2006. Peserta aktifnya dari NGOs: Yayasan Elang, Yayasan Mitra Insani, Yayasan Alam Sumatera, Jikalahari, Yayasan Kaliptra, Hakiki, WWF Riau, Aliansi Masyarakat Adat Riau; dari perwakilan petani: Aspekpir, Kab. Rokan Hilir, Kab. Siak, Kab. Indragiri Hilir; dan dari Pemerintah: Dinas Perkebunan Provinsi Riau.

Selain itu pihak industri besar perkebunan kelapa sawit sudah dimaklumatkan tentang pedoman HCV 1 Kawasan hutan yang mengandung konsentrasi nilai-nilai keragaman hayati yang dianggap penting secara global, regional maupun nasional (seperti: endemis, spesies yang terancam punah, refugia).
HCV 2 Kawasan hutan luas yang penting secara global, regional dan nasional.
HCV 3 Kawasan yang berada didalam atau memiliki ekosistem-ekosistem yang langka,
terancam atau dilindungi.
HCV 4 Kawasan hutan yang menyediakan layanan atau jasa-jasa ekosistem yang penting
pada situasi-situasi kritis (misalnya: proteksi watershed, penahan erosi).
HCV 5 Kawasan hutan yang fundamental/sangat mendasar untuk memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat setempat.

Ditambah lagi warning adanya interaksi konversi kawasan lindung atau hutan penyangganya menjadi perkebunan, peningkatan resiko kebakaran, peningkatan keterbukaan kawasan lindung, peningkatan pembalakan liar, pembunuhan satwa dilindungi untuk melindungi perkebunan, perusakan koridor biologi, pengeringan rawa yang berfungsi penting, fragmentasi hutan, penanaman lereng dan pinggiran sungai, aplikasi pestisida berlebihan karena tidak menggunakan PHT dan pemupukan tidak sesuai norma, perburuan dan penangkapan ikan liar.

Artinya secara regulasi, di atas kertas dan teori, kita sudah baik dalam upaya menjaga wilayah hutan dan lahan kita dari kehancuran. Tapi apa lacur, keadaan di lapangan tidak semudah teori. Tidak semua para pemangku kepentingan yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit konditenya baik. Lihat saja peristiwa kabut asap dan banjir yang selalu melanda daerah Riau. Belum lagi hancurnya unsur hara dan kesuburan tanah akibat menanam kelapa sawit. Kalau dihitung untung-ruginya, mungkin lebih banyak kerugian dan dampak buruk yang mendera mereka, ketimbang keuntungan finansialnya. Kerusakan dan keterpurukan ekologis dan ekonomi di Riau adalah contoh klasik yang sama sebangun dengan wilayah lainnya di tanah air.

Kasus Padi Sonor di Sumatera Selatan
Kedatangan gejala alam El Nino yang memicu musim kemarau, tidak selamanya menjadi momok yang menakutkan bagi petani. Bagi sebagian petani Sumatera Selatan (Sumsel), El Nino justru menjadi berkah tersendiri. "Gejala alam El Nino yang disertai dengan datangnya musim kemarau, justru bagi sebagian petani Sumatera Selatan merupakan rahmat. Datangnya musim kemarau berarti petani bisa memanfaatkan lahannya untuk menanam padi Sonor," kata Ir Amiruddin Inoed Asisten I Setwilda Propinsi Sumatera Selatan. Di daerah ini ada lebih dari 100.000 ha lahan yang bisa ditanami padi Sonor. Lahan tersebut merupakan areal rawa yang kering saat kemarau tiba dan bisa ditanam padi di atasnya. Sementara itu bagi sawah irigasi dan tadah hujan, jika musim kemarau tiba berarti mereka tidak bisa menanam padi. Penanaman padi Sonor dilakukan dengan cara sangat mudah, petani membakar lahannya, kemudian menebar benih. Dari kasus kemarau panjang yang memicu kebakaran hutan pada tahun 1997 lalu, Sumatera Selatan bersama Jambi dan Lampung adalah penyumbang titik api terbanyak. Kemudian asapnya membentuk kabut asap yang menutupi negara tetangga Malaysia dan Singapura. (Kompas, Kamis, 15 Maret 2001).

Berdasarkan pantauan satelit NOOA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution radiometer) yang dikembangkan oleh lembaga antariksa Amerika (NASA) sejak tahun 1978 untuk pemantauan iklim dan kelautan global. Hasil pemantauannya menunjukkan, setelah enam bulan membakar lahan, nampaklah areal yang dipakai untuk menanam padi hanya sekitar 40% dari areal yang dibakar rakyat. Artinya lebih dari 50% lahan dibakar dan terbakar secara sia-sia.

Pembalikan Teori Penyelamatan Hutan
Perubahan paradigma pemerintah dalam menyelamatkan hutan, harus sama dan sebangun dengan memberikan peluang dan peningkatan kesejahteraan bagi jutaan rakyat di sekitar hutan. Rakyat sebagai subyek. "Laju degradasi hutan dari tahun ke tahun terus meningkat. Penciutan hutan sudah mencapai 1,6 - 2,8 juta hektar pertahun. Bahkan perambahan hutan telah memasuki kawasan konservasi yang seharusnya senantiasa terjaga kelestariannya. Berdasar kajian yang dilakukan, saat ini terdapat sekitar 10,2 juta masyarakat miskin hidup di sekitar hutan," DirJend PHKA, Departemen Kehutanan RI M Arman Mallolongan.

Mengingat hubungan ketergantungan yang tinggi antara keutuhan hutan dengan kelangsungan hidup masyarakat, karena itu masyarakat yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan konservasi harus dibina peran sertanya secara keberlanjutan. Ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dalam upaya mewujudkan keutuhan dan kelestarian kawasan konservasi sebagai benteng terakhir sistem penyangga kehidupan. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi merupakan tanggung jawab bersama. Karena itu keterpaduan program dan komitmen semua pihak dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi mutlak perlu dilakukan (Kedaulatan Rakyat, 24 November 2006).

Artinya, kalau kita semua ingin menjaga hutan dan lahan kita dari praktik penebangan liar (illegal logging), penyelundupan kayu, kebakaran hutan, longsor, kebanjiran, konflik kawasan, perambahan hutan, dan lain-lain maka kita wajib memberdayakan 10,2 juta penduduk miskin yang bermata pencaharian langsung dari hutan (sekitar 6 juta juta orang) dan sebanyak 3,4 juta orang lainnya yang bekerja di sektor swasta kehutanan. Program reboisasi penghutanan kembali 55 juta hektar lahan gundul yang akan tuntas paling tidak 27 tahun mendatang membutuhkan biaya Rp 4,2 triliun per tahun. Seyogyanya multi-years program dan multi-years project ini melibatkan sebanyak-banyaknya penduduk miskin di sekitar hutan.

Pola pemberdayaan banyak ragamnya dalam kerangka program pembinaan kesejahteraan masyarakat. Misalnya melalui Reboisasi hutan gundul yang dikelola oleh Perum Perhutani di wilayah DAS. Sebab pada area tangkapan (catchment area) suau DAS, kerusakan hutan masih dapat ditoleransi sampai batas 15%. Jika kerusakan hutan lebih dari 15%, prasarana pengairan pun tidak dapat berfungsi. Waduk juga tidak berfungsi pada area DAS yang kerusakan hutan resapannya lebih dari 15%. Usulan agar Perhutani dan PTPN mengindentifikasi lahan-lahan mereka yang berada pada kemiringan 30 persen untuk didistribusikan kepada petani miskin. Selanjutnya dibangun kesepakatan untuk mengembangkan budidaya tanaman yang produktif dan mampu menstabilkan tanah, agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana di masa mendatang.

Atau model kerjasama Perum Perhutani dengan satu LSM Lembaga Studi Ekosistem Hutan (Lesehan) yang berkedudukan di Madiun.untuk melakukan penghijauan Kecamatan Bringin, Kab. Ngawi, Jawa Timur yang gundul pada akhir tahun 1998. Sebagai imbalan atas jerih payah mereka, Perhutani memang tak memberi upah harian, melainkan mereka dibolehkan memanfaatkan 1/3 lahan hutan Perhutani tadi untuk ditanami tanaman pertanian, Inisiatif model penanaman selangseling yang lazim disebut "model plong" atau alley cropping. Dengan model plong, kawasan hutan Perhutani dibagi dua jalur, jalur tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Pada jalur pertanian, para petani mendapat bercocok tanam tanaman produksi berusia pendek. Itu sebagai konsesi atas tenaga mereka ikut menanam dan memelihara jati atau mahoni yang merupakan tanaman "wajib" di jalur kehutanan. Selain memperoleh lahan plong selebar sembilan meter, melalui kerjasama ini, tiap keluarga petani hutan berhak pula bagi hasil 25 % atas penebangan akhir daur pada jalur kehutanan. Sedangkan pada jalur pertanian, Perhutani mendapat bagian sebesar 5 % atas hasil penebangan akhir daur, dan 5 % untuk petugas lapangan Perhutani atas pemanenan tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan dan kayu bakar.

GRAND DISAIN menyelamatkan hutan Indonesia adalah pekerjaan yang amat besar. Semua institusi teknis baik pemerintah pusat dan daerah, kalangan industri perkebunan, migas, dan kehutanan, semua NGO, semua rakyat dan petani di sekitar hutan wajib dan harus mempunyai tekad, disiplin, dan pemahaman, yang sama. Terutama sekali praktik dan aplikasi di lapangan yang harus konsisten, utuh terintegrasi antar para pemangku kepentingan. Penerapan merit system atau punish and reward wajib hukumnya dan haram dilanggar. Sedangkan dukungan dan kerjasama internasional hanya bersifat suplemen.

Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang punya budaya malu dan tahu diri. Kita harus menjadi bangsa yang bermartabat dan mandiri, bukan bangsa kelas dua yang cuma bisa jadi koeli onderneming dan bukan bangsa pencuri.

Wahai, bukankan kita sudah tiba pada ‘ordo' 100 tahun kebangkitan nasional, dan sudah 63 tahun merdeka?

Kepustakaan, antara lain:
(1) Langkah Baru Petani Hutan Bringin: Geliat Pinggir Hutan Langkah Panjang Pengelolaan
Hutan Lestari Berbasis Masyarakat di Jawa
(2) Edisi Bahasa Indonesia dari "Forests, People and Rights, a Down to Earth Special
Report, June 2002
(3) Sumber lainnya

Tidak ada komentar: