Senin, 13 Juli 2009

"Rehabilitasi Longsor, Konservasi Alam, dan Lowongan Kerja"

1.Mengenal Tanah Longsor

Pengertian tanah Longsor adalah terjadinya pergerakan tanah atau bebatuan dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur, umumnya terjadi didaerah terjal yang tidak stabil. Bencana ini biasanya diperburuk lagi pada musim hujan dan terjadinya banjir yang menyusul kemudian. Areal yang berbukit, curam dan tanpa tumbuhan (akibat penebangan atau kebakaran) adalah daerah-daerah yang rawan akan kemungkinan bencana ini.

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh. Air hujan adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang tidak terkendalikan. Selain tanahnya mudah bergerak, ada juga terdapat lapisan (tanah) lempung. Tidak hanya di Karanganyar, beberapa daerah lainnya di Jateng juga termasuk rawan longsor, seperti Kebumen. Kondisi tanah di wilayah itu mudah bergerak jika terus menerus diguyur hujan.

2.Tipe Gerakan Longsor : runtuh, meluncur, menyebar secara lateral, mengalir, dan kompleks.

3.Material yang bergerak : batuan dasar, lapisan tanah

4.Wilayah-wilayah rawan tanah longsor
•Pernah terjadi bencana tanah longsor diwilayah tersebut
•Berada pada daerah yang terjal dan gundul
•Merupakan daerah aliran air hujan

5.Gejala umum tanah Longsor
•Muncul retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing
•Muncul mata air secara tiba-tiba
•Air sumur di sekitar lereng menjadi keruh
•Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan

Waspada: Material yang terbawa pada saat terjadinya tanah longsor selain tanah, juga bisa berupa bebatuan dan lumpur. Kecepatan luncuran tanah longsor, terutama pada posisi yang terjal, bisa mencapai 75 km/jam.

6.Kondisi Saat Ini
•Pada 2007: Ada 11 provinsi berpotensi longsor dan banjir bandang.
•Ada 780 titik rawan longsor di Pulau Jawa tersebar pada 5.075 desa di 69 kabupaten.
•Dari tahun 2003 hingga tahun 2008, titik rawan bencana tanah longsor potensi tinggi di Jawa Tengah meningkat, dari 97 kecamatan di enam kabupaten menjadi 120 kecamatan di kabupaten yang sama. Memasuki musim hujan, proses longsor akan semakin mudah terjadi dengan curah hujan dan intensitas turunnya hujan yang tinggi.
•Peneliti dari Pusat Studi Geologi Bandung, Jawa Barat Sutikno Bronto mengatakan, curah hujan di Jawa Tengah rata-rata tergolong tinggi sehingga akan sangat berpengaruh pada gerakan tanah. Tetapi, Sukinto menyampaikan, bencana tanah longsor tidak hanya disebabkan oleh fenomena alam saja. Beberapa wilayah lain yang harus diwaspadai saat ini adalah wilayah pemukiman di tanah miring yang tidak memperhitungkan keamanan, lalu pemotongan tebing jalan yang curam.
•Kondisi lingkungan kita memang sudah rusak akibat salah urus dan salah penataan ruang sejak lama. Ruang, termasuk hutan dan alam, hanya dijadikan sebagai materi atau objek ekonomi untuk dieksploitasi. Bukan sebagai subjek yang punya ruh dan layak hidup bersama manusia. Secara alamiah, 83 persen wilayah Indonesia termasuk kawasan rawan bencana, seperti kebakaran, gempa, banjir, longsor, dan kekeringan.

7.Penyebab Terjadinya Longsor
•Kondisi alam yang rawan, perilaku negatif warga dan pemerintah terhadap alam
•Tidak adanya pengetahuan kebencanaan yang memadai
•Tidak ada dana pencegahan yang cukup
•Hubungan bencana longsor dengan kemiskinan sangat kuat. Longsor yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa, umumnya disebabkan oleh kemiskinan.
•Lahan yang begitu luas dikuasai oleh orang lain. Perhutani misalnya, menguasai 76 persen dari 2,5 juta hektar lahan hutan dan perkebunan.

8.Cara-cara Menghindari Korban Jiwa & Harta Akibat Tanah Longsor
•Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan.
•Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun.
•Membuat Peta Bencana
•Melakukan deteksi dini sebelum terjadi bencana
•Peringatan dini dengan memasang patok-patok pemantau gerakan tanah pada lokasi-lokasi yang dinyatakan rawan longsor, mencermati munculnya retakan-retakan pada lokasi berlereng, serta menyiapkan tanda bahaya.
•Melandaikan lereng curam dengan pembuatan terasering, menutup dan memadatkan retakan-retakan tanah pada medan berlereng, menutup atau memindahkan aliran air yang menuju ke lereng, serta membuat penahan pada tebing dan kaki lereng yang curam.

9.Faktor Kegagalan
1)Kondisi lingkungan kita memang sudah rusak akibat salah urus dan salah penataan ruang sejak lama. Ruang, termasuk hutan dan alam, hanya dijadikan sebagai materi atau objek ekonomi untuk dieksploitasi. Bukan sebagai subjek yang punya ruh dan layak hidup bersama manusia. Secara alamiah, 83 persen wilayah Indonesia termasuk kawasan rawan bencana, seperti kebakaran, gempa, banjir, longsor, dan kekeringan.
2)Hubungan bencana longsor dengan kemiskinan sangat kuat. Longsor yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa, umumnya disebabkan oleh kemiskinan.
3)Banyak komunitas miskin di pinggir hutan terpaksa memenuhi kebutuhan hidupnya dari menebang kayu atau bambu di dalam hutan. Sebagian untuk kayu bakar, sebagian lagi dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka sadar, menebangi pohon apalagi merusak hutan bisa menyebabkan longsor dan banjir. Tetapi mereka tetap melakukan itu karena tidak punya pilihan lain untuk memperoleh penghasilan. Sedangkan negara tidak membantu memenuhi kebutuhan mereka.
4)Kondisi alam yang rawan, perilaku negatif warga dan pemerintah terhadap alam
5)Tidak adanya pengetahuan kebencanaan yang memadai
6)Tidak ada dana pencegahan yang cukup
7)Lahan yang begitu luas dikuasai oleh orang lain. Perhutani misalnya, menguasai 76 persen dari 2,5 juta hektar lahan hutan dan perkebunan.

10.Faktor Kelayakan
Prinsip utama adalah memberdayakan masyarakat lokal (membuka lapangan kerja baru) dalam upaya pencegahan terjadinya bencana tanah longsor
• Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya, pada lereng-lereng yang gundul
• Membuat/membangun saluran air hujan
• Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal
• Memeriksa keadaan tanah secara berkala
• Mengukur tingkat kederasan hujan
• Tidak menebang atau merusak hutan

11.Faktor Keberhasilan
Mengingat rehabilitasi tanah longsor memerlukan penanganan (manajemen) yang efektif, efisien, dan hasil yang terukur, maka prinsip dasarnya adalah:
 memberdayakan masyarakat lokal. Selain membuka lapangan kerja massal, juga membangun ‘sence of belonging’ rakyat lokal untuk tetap merawat.
 pemilahan pohon jenis bambu sebagai bahan utama mengatasi lahan/tanah longsor
Mengapa tanaman bambu? Karena pohon bambu sebagai tanaman multi-guna. Bisa dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sebagai alat konservasi alam dan juga penahan longsor.

Inilah uraian azas manfaat dan keunggulan tanaman bambu.
1)Bambu banyak digunakan masyarakat dalam memenuhi kehidupan sehari-hari meliputi kebutuhan pangan, rumah tangga, kerajinan (cinderamata, mebel, tas, topi, kotak serba guna, hingga alat music), konstruksi dan adat istiadat. Bambu memiliki multi fungsi pemanfaatan sebagai bahan makanan untuk manusia (Rebung), binatang (pucuk daun muda), serta konstruksi untuk pembuatan jembatan, aneka sekat, konstruksi rumah meliputi tiang, dinding, atap. Kebutuhan adat istiadat bambu digunakan dalam upacara adat hindu dan budha diantaranya untuk upacara kremasi jenazah.

2)Di beberapa negara Asia diantaranya china, menggunakan bambu sebagai tanaman utama konservasi alam, memperbaiki dan meningkat sumber tangkapan air. Manfaatnya, sehingga mampu meningkatkan aliran air bawah tanah. Selain pertimbangan budaya dan meningkatkan ekonomi masyarakat, melalui aneka kerajinan serta kebutuhan konstruksi.

3)Tanaman bambu mudah ditanam, tidak membutuhkan perawatan khusus. Dapat tumbuh pada semua jenis tanah (baik lahan basah/kering), tidak membutuhkan investasi besar, pertumbuhannya cepat. Setelah tanaman mantap (3 – 5 tahun) dapat di panen setiap tahun, tanpa merusak rumpun dan memiliki toleransi tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang baik dan menghasilkan banyak oksigen, sehingga dapat ditanam di pusat pemukiman dan pembatas jalan raya.

4)Untuk konservasi alam sangat efektif untuk reboisasi wilayah hutan terbuka atau gundul akibat penebangan. Karena pertumbuhan rumpun bambu sangat cepat dan toleransinya terhadap lingkungan sangat tinggi.

5)Masyarakat Bali Desa Pakraman Angseri, telah sukses menggunakan bambu sebagai tanaman hutan rakyat seluas 12 ha. Ternyata telah membantu menjaga dan memulihkan aliran air bawah tanah dan mata air panas, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan bambu untuk usaha kerajinan, dan menunjang kehidupan komunitas kera untuk dijadikan sebagai tempat wisata (Sumatera dan Peneng, 2005).

6)Bambu Center Pusat Studi Ilmu Teknik UGM melalui program Magister Teknologi Bahan Bangunan dan Perhimpunan Pecinta Bambu Indonesia (Perbindo) Yogyakarta, telah melakukan berbagai penelitian untuk memanfaatkan bambu dalam konstruksi bangunan bagi wilayah-wilayah rawan gempa dan bencana alam. Selain itu telah dilakukan pula pemanfaatan teknologi pengolahan bamboo, melalui metoda pengawetan untuk meningkatkan nilai pakai bambu, membuat balok bambu untuk tiang bangunan dan kuda-kuda, papan laminasi, papan panel dan atap bambu.

Kesimpulannya, kami menggunakan bambu sebagai tanaman untuk penghijauan, karena memiliki pertumbuhan sangat cepat, investasi kecil, tidak membutuhkan perawatan khusus, dalam usia 3 – 5 tahun telah memperoleh pertumbuhan mantap dan dapat dipanen setiap tahun. Selain itu dapat dilakukan penanaman campuran secara silang dengan tanaman berkayu (pohon) untuk tujuan pemulihan fungsi hutan kembali dalam jangka pendek.

12.Metodologi
Contoh kasus: Kabupaten Cilacap masih menempati urutan pertama daftar daerah rawan bencana di Provinsi Jateng. Sebab, luas daerah rawan bencana di kabupaten itu hampir mencapai 90% dari luas wilayah keseluruhan, yakni 225.360,84 hektare atau ± 2.200 km2.

Merehabilitasi tanah longsor untuk satu kabupaten (Cilacap) saja dapat membuka lapangan kerja untuk 180.000 rakyat untuk masa kerja 40 hari. Pendanaan bersumber dari APBN, APBD, Corporate Social Responsibility (CSR), dan Corporate Efective Responsibility (CER).

OUTPUT (Keuntungan ekologi dan ekonomi)
1.Penyelamatan lahan dan tanah seluas 225 ribu ha atau 2.200 km2
2.Kesuburan lahan dan tersedianya sumber air yang cukup besar di Kab. Cilacap
3.Dalam waktu 4-5 tahun, tanaman bambu dapat sebagai sumber daya ekonomi yang besar bagi rakyat di Kab. Cilacap
4.Bertambahnya jumlah lowongan kerja
5.Berkembangnya kluster-kluster ekonomi kerakyatan yang kreatif berbasiskan bambu
6.Bertumbuhnya mobilisasi ekonomi rakyat
7.Bertambahnya pendapatan rakyat
8.Bertumbuhnya kesadaran lingkungan dan kearifan lokal rakyat di Kab. Cilacap
9.Jumlah dana yang dikeluarkan masih lebih menguntungkan dibanding dengan kerugian ekonomi dan kehancuran ekologi yang diakibatkan oleh tanah/lahan longsor

Jakarta, 2 Juli 2009

Salam takzim
Penggagas Metoda Teknis

MUNANDAR dan Muhammad Syarif Ali Maulana
Alamat Kantor: LIPI, Jalan Jend. Gatot Subroto No. 10, Jakarta Selatan 12710
Telp (021) 5221683; HP 0813.86.5599

Minggu, 12 Juli 2009

“Mudah-mudahan Musibah Air dan Lumpur Porong Dapat Diatasi”

Kilas Balik Musibah Porong

Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00 terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga.
Posisi terakhir pemboran sumur BPJ-1 adalah pada kedalaman 9.297 feet (2.833,7 meter). Namun selanjutnya, semburan lumpur semakin tidak terkendali dan volumenya semakin meningkat. Awalnya ada lima titik semburan, namun yang paling besar hanya satu dan selanjutnya yang lainnya tidak menyemburkan lumpur lagi. Semburan lumpur mencapai angka 50.000 meter 3 per hari, bahkan ada yang memperkirakan 100 ribu m3 per hari.

Pada saat kedalaman sumur mencapai 9 ribuan kaki, terjadi total lost mud, saat itu mw=15 ppg, kemudian dipompakan lcm, well static. Waktu POOH keesokan harinya, sampai hampir dibawah casing shoe 13-3/8", mulai lost mud lagi, tapi kemudian well mulai flowing. Sempat di-flare, gas dengan H2S 70 ppm (kalau di ADCO sana H2S 100 ppm baru alarm berbunyi, gak disini pakai standard berapa ppm untuk alrm bunyi). Kill the well dengan 15.5 ppg hi-vis mud. Hari berikutnya saat hari sudah terang ditemukan gelembung2 lumpur dengan gas H2S setinggi 1-4 m secara intermitten kira2 150 m dari well bore. Seluruh crew dievakuasi. Dipompakan beberapa barel lumpur untuk ngetest apakah ada hubungan dengan surface mud bubles, tapi hasilnya tak diketahui. Hari berikutnya well dimonitor terus, di-plug cement 2 kali, sementara gelembung2 lumpur tetap terjadi (sampai sekarang masih terjadi terus tanpa (bisa) dikendalikan). Dicoba untuk back-off pipa, sementara lumpur dari gelembung2 yang keluar diukur salinitynya sama dengan salinity air formasi (jadi bukan dari lumpur pemboran). Sementara sudah lebih dari 4 ha sawah terendam lumpur, bahkan masuk ke badan jalan tol Surabaya-Gempol yang sempat dibuka-tutup beberapa hari terakhir.

Ledakan yg muncul dipermukaan ini mirip dengan ledakan “plupuk-plupuk” ketika kita menjerang air, ketika air sedang mendidih. Dibawah sana tentunya air tanahnya juga panas. Akibat geothermal gradien, atau panasnya bumi maka rata-rata suhu akan meningkat 3-4 derajat tiap 100 meter. Nah misalkan kedalaman sumber air ini diperkirakan berasal dari kedalaman 6000-9000 feet (sekitar 3 000 meter). Kalau suhu permukaan sekitar 25 derajat, penambahan suhunya mencapai 1200, sehingga suhu air tanah ini pada kedalaman 9000 feet (3 Km) sana dapat mencapai 1500. Tentunya sudah diatas 100, diatas suhu air mendidihkan? tetapi karena tekanan hidrostatis tinggi, dibawah sana tidak mendidih seperti dipermukaan. Namun ketika berjalan keluar tentu saja tekanan berkurang, dan air tersebut bisa saja mendidih. Sehingga terlihat kepulan uap air keluar dari lubang.

Pada tanggal 29 Mei 2006, telah terjadi letusan dahsyat uap, air dan akhirnya lumpur di Jawa bagian timur di suatu lokasi yang sebelumnya tidak didokumentasikan oleh seorang pun. Letusan lumpur awal ini (pertama kali terjadi di lokasi ini) yang diakibatkan oleh pengeboran batu gamping dengan kapasitas tekanan tinggi dan menyerap dengan kedalaman sebesar – 2830 m di bawah permukaan bumi.

Opsi Pengendalian
Musibah yang terjadi hampir dua setengah tahun silam, hingga kini masih belum bisa diatasi. Cukup banyak metoda yang ditawarkan dan diuji-coba, namun sayang hasilnya gagal. PT LBI mengeluarkan dana hingga triliunan rupiah, sedangkan rakyat yang terkena musibah, menderita lahir-batin. Kami pun mencoba memberikan solusi dengan menawarkan metoda “Pembuatan Waduk untuk Menanggulangi Air dan Lumpur agar Tidak Liar”.

Opsi kami membuat waduk dengan cara menggali tanah/ lumpur berbeda dengan tim-tim lain yang buat waduk di atas tanah. Sunatullah (hukum alam) air akan mencari dataran lebih rendah menuju ke laut mengakibatkan tenggelamnya desa-desa. Oleh karena itu, inti dari metoda kami berpedoman pada: kondisi saat ini: aktual dan faktual, kata kunci: mengamankan air dan lumpur tidak liar secara permanen, penghitungan faktor kegagalan, keseimbangan, kelayakan, dan faktor keberhasilan. Pembuatan waduk di pusat dan di sekitar semburan air dan lumpur sebagai opsi pemecahan masalah secara holistik melalui pembuatan waduk yang bersifat “tanggap darurat”.

Faktor Kegagalan: puluhan gelembung gas, penurunan permukaan tanah, analisis ada lapisan lunak pada kedalaman 4.00 feet, dan lain-lain. Faktor Keberhasilan: puluhan gelembung gas yang terdapat pada beberapa lokasi luberan lumpur adalah hal yang sangat wajar dan alami. Akan hilang dengan sendirinya dan tidak akan mempengaruhi penggalian tanah lunak untuk pembuatan waduk.Land subsidence di pusat semburan justru akan mempermudah pengerjaan membuat waduk. Analisis adanya lapisan lunak pada kedalaman 4.000 feet adalah hal yang sangat wajar dan alami yang secara konstruksi dan teknis tidak akan mempengaruhi pembuatan waduk.

Faktor Keseimbangan: volume air dan lumpur yg keluar diperkirakan 50.000 - 80.000 m3 per hari sedangkan volume tanah/lumpur galian yang diangkat 100.000 - 150.000 m3 per hari. Kesimpulannya: pembuatan waduk punya faktor keseimbangan, karena daya tampung waduk lebih besar dibandingkan dengan air dan lumpur yang keluar. Faktor Kelayakan: pembuatan waduk di pusat dan di sekitar semburan LAYAK DIKERJAKAN, karena pengerjaannya tidak terganggu dengan adanya: proses gunung lumpur yang konon berbentuk jenang dodol, semburan gas dan air, lubang di pusat semburan, dan amblesnya permukaan tanah.

Lebih dari dua tahun silam, kami sudah empat kali memaparkan metoda ini dihadapan:
1.Tim Pakar Timnas diketuai oleh Prof. Dr. Indroyono Soesilo, pada hari Kamis, 15 Februari 2007 di Jakarta.

2.Bapel BPLS pada hari Rabu, 3 Oktober 2007 di Surabaya (dihadiri oleh pimpinan, para Kapokja Bapel – BPLS dan konsultan PT Virama Karya) berdasarkan disposisi dari Menteri PU.

3.Tim dari Badan Geologi, Departemen ESDM pada hari Jumat, 30 November 2007 di Jakarta (dihadiri oleh 13 geolog/pejabat yang terdiri dari Kepala Badan, 3 Kapuslit dan tenaga ahli) berdasarkan disposisi dari Menteri ESDM.

4.Top Manajemen PT Lapindo Brantas Inc. pada hari Rabu, 6 Februari 2008

5.Deputi Bidang Politik (Prof. Dr. Djoehermansyak Djohan), Kantor Wakil Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2008

Kesimpulan Hasil Diskusi:
1.Diantara Tim Pakarnya Prof. Indroyono Soesilo ada yang keberatan, namun ada tim (seorang engineering) yang mengatakan “metoda pembuatan waduk reasonable untuk dikerjakan, tapi harus disempurnakan. Tim meminta kami untuk menentukan ‘apakah anda setuju atau tidak setuju dengan underground blown-out atau mud vulcano. Hitung faktor kegagalan, faktor kelayakan, dan faktor keberhasilan pembuatan waduk. Selang tiga hari kemudian, kami membuat resume tertulis kepada Tim Pakar. Namun sayangnya sebulan kemudian seiring dengan pembubaran Timnas Penanggulangan Sementara Lumpur Sidoarjo kemudian diganti dengan BPLS, maka selesai pula tugas dari Tim Pakar.

2.Berdiskusi dengan Bapel BPLS cukup kooperatif, namun institusi ini tidak punya wewenang untuk menolak atau menyetujui metoda kami.

3.Berdiskusi dengan 13 pakar geologi dari Badan Geologi, Departemen ESDM ada ‘kesesuaian’. Kepala Badan Geologi mengakui, metoda ini baru dan satu-satunya. Selain itu, salah seorang kepala pusat penelitian Departemen ESDM menyarankan dari rencana pembuatan waduk berdiameter 500m dan kedalaman 20m menjadi berdiameter 1 km dan kedalamannya 10m.

4.Hasil diskusi dengan Top Manajemen PT LBI, bapak W menyimpulkan: secara sains diterima. Disarankan agar ke lokasi pusat semburan untuk updating data.Sesuai dengan saran beliau, maka saya dan Ir. Ichwan H. Malik, engineering dari PT SACNA ke pusat semburan/cincin/tanggul utama pada tanggal 7 Juni 2008. Kesimpulan akhir kami setelah berada di pusat semburan adalah: Insya Allah pembuatan waduk di pusat semburan dapat dikerjakan oleh kita, bangsa Indonesia.

5.Hasil diskusi dengan Prof. Dr. Djoehermansyak Djohan dan tim dari Deputi Bidang Politik, Kantor Wakil Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2008, telah dilaporkan kepada bapak Wapres, Jusuf Kalla. Tindak lanjutnya, Wapres RI menyampaikan kepada bapak Presiden RI. Namun sayangnya, beliau tetap pada kebijakan semburan air dan lumpur Porong akan dibuang ke laut.

Setelah memperbaiki bahan presentasi dan metoda teknis pembuatan waduk, maka melalui surat resmi dari kantor Elza Syarif Advocates & Legal Consultants, TOR disampaikan kepada Wapres RI di Jalan Kebon Sirih. Namun menurut sumber yang layak dipercaya, soal wewenang mengatasi lumpur Porong berada di tangan Presiden SBY. Beliau sudah menentukan kebijakan pemerintah, yakni membuat saluran buangan lumpur ke laut. Beberapa minggu silam, musibah lumpur Porong menjadi berita lagi. Pada intinya pemerintah angkat tangan tidak bisa mengatasinya. Namun dibantah oleh Wapres JK, pemerintah masih punya cara untuk mengatasi.

Mudah-mudahan kami diundang oleh Presiden SBY, untuk menyampaikan pemaparan metoda pembuatan waduk. Siapa tahu metoda ini, yang menurut kami sesuai dan harmoni dengan alam, dapat mengatasi musibah yang sudah lebih dari dua tahun terjadi. Perhitungan kami, air dan lumpur tidak liar karena ditampung dalam waduk berdiameter 1 km dengan kedalaman 10m. Kita berdoa agar musibah lumpur porong berubah menjadi berkah bagi rakyat Porong khususnya dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Amien.





Pak Munandar Yth,
Tolong segera dibuatkan rencana kerja pengendalian LUSI paling telat minggu ini, sebab minggu depan setelah Sidang Kabinet akan dibicarakan detil pekerjaan tersebut. Mereka minta rincian:
1. Metoda pembuatan waduk
2. Pekerjaan dimulai dari mana
3. Lama pekerjaan
4. Peralatan yang dibutuhkan
5. Lokasi penempatan galian Lumpur dan berapa luas areal yang dibutuhkan
6. Berapa biayanya
7. Azas manfaat dan kepentingannya bagi penduduk

Catatan Tim:
1. Pertanyaan no 1 – 6 akan didiskusikan dengan pihak kontraktor
2. Komponen pembiayaannya terdiri dari:
(1) Tim Penggagas dan Penanggung Jawab terdiri dari Muhammad Syarif Ali Maulana, Munandar dan LIPI)
(2) Tim Konsultatif (Agnes, Elsya Syarif, Seno Adjie, Angie)
(3) Kontraktor
(4) Tim Keprotokolan
3. Azas manfaat dan kepentingannya bagi penduduk (sudah terurai dalam TOR)

Jakarta, Rabu 27 Juni 2007
Munandar88@gmail.com
Muna004@lipi.go.id


Perkenankan kami menyampaikan laporan kepada Tim Pemantau DPR-RI Untuk Semburan Lapindo, bahwa Tim kami mempunyai metoda teknis menanggulangi air dan lumpur Porong agar tidak liar. Tim kami sudah tiga kali memaparkannya di hadapan:
7. Tim Pakar Timnas diketuai oleh Prof. Dr. Indroyono Soesilo, pada hari Kamis, 15 Februari 2007 di Jakarta.
8. Bapel BPLS pada hari Rabu, 3 Oktober 2007 di Surabaya (dihadiri oleh pimpinan, para Kapokja Bapel – BPLS dan konsultan PT Virama Karya) berdasarkan disposisi dari Menteri PU.
9. Tim dari Badan Geologi, Departemen ESDM pada hari Jumat, 30 November 2007 di Jakarta (dihadiri oleh 13 geolog/pejabat yang terdiri dari Kepala Badan, 3 Kapuslit dan tenaga ahli) berdasarkan disposisi dari Menteri ESDM.
10. Top Manajemen PT Lapindo Brantas Inc. Pada hari Rabu, 6 Februari 2008


Ada beberapa pertanyaan yang sangat penting dan mendasar dari pimpinan Bapel – BPLS, yakni tentang: (1) kendala yang dihadapi di lapangan dan; (2) kemungkinan terburuk dari pembuatan waduk karena jenis lumpur panas Sidoarjo memiliki karakteristiknya yang khas. Bersama surat ini kami lampirkan jawaban tertulisnya dan notulen yang memuat tentang poin-poin hasil diskusi tanggal 3 Oktober 2007. Berdasarkan jawaban tertulis Tim Ahli kami atas pertanyaan lisan dari pimpinan Bapel – BPLS, justru semakin memperkuat hipotesis kami akan manfaat dan keuntungan dari pembuatan waduk untuk mengatasi lumpur panas Sidoarjo menjadi tidak liar. Kami mengharapkan mudah-mudahan ada tindak lanjut.

Pemaparan dan diskusi berjalan baik dan konstruktif, karena metoda teknis yang kami usulkan diakui merupakan metoda baru dan satu-satunya, yang dalam implementasinya tidak akan berdampak, bahkan dapat menyelesaikan masalah. Kami sudah berupaya sekuat tenaga melalui telaah, kajian, dan survei di lapangan, agar metoda teknis ini dapat kami pertangungjawabkan, efektif, lebih efisien, dan terukur. Adapun metoda kami adalah Membuat Waduk (menggali di sekitar dan di pusat semburan dengan kedalaman 10m dan berdiameter 1000m) atau 2 km x 10m; dapat menampung air dan lumpur sebanyak 31,4 juta m3.