Selasa, 28 Oktober 2008

“GRAND DISAIN PENYELAMATAN HUTAN INDONESIA”

DEWASA ini sektor kehutanan sedang menghadapi permasalahan yang sangat berat dengan skala multi-dimensional yang disebabkan oleh:
-Praktik penebangan liar (illegal logging)
-Penyelundupan kayu
-Terjadinya kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun
-Konflik kawasan
-Perambahan hutan
-Tumpang tindih peraturan perundangan, sehingga menyisakan lahan kritis (terdegradasi)
seluas sekitar 43 juta hektar pada 458 DAS.
-Pembukaan lahan dengan melakukan tebang habis dan pembakaran masih merupakan sebuah
alternatif land clearing yang paling murah, mudah dan cepat.
-Kurang lebih 48,8 juta penduduk tinggal di sekitar kawasan hutan dan 10,2 juta
diantaranya miskin. Penduduk yang yang bermata pencaharian langsung dari dari hutan
sekitar 6 juta juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang diantaranya bekerja di di sektor
swasta kehutanan.

Untuk mengatasi salah satu problema di atas, kebakaran hutan misalnya, kita tidak pernah mampu mengatasinya. Padahal dana yang terbuang ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Memadamkan kebakaran hutan dan lahan memang bukan tanpa hambatan. Luasnya kawasan terbakar dan lokasi hot spot yang sulit dijangkau, tidak seimbang dengan kekuatan personil, peralatan yang tersedia dan keterbatasan teknologi pemadaman. Ada juga yang berpendapat, sebenarnya kebakaran hutan dan lahan diawali oleh kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kemudian keterbatasan itu dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang bermodal besar untuk membantu land clearing dengan cara membakar. Karena itu ada asumsi, ketika kemiskinan belum teratasi maka dengan mudah masyarakat melakukan aktivitas membakar dengan dalih mendapatkan upah dari perusahaan atau sekadar membuka ladang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Kebakaran yang disebabkan oleh sektor kehutanan pada umumnya sangat kecil, sebab pengusaha hutan sangat berkepentingan untuk melindungi wilayah hak pengusahaan hutan mereka dari kebakaran. Namun dalam beberapa kasus, beberapa perusahaan kayu memang membakar hutan untuk memudahkan pembersihan lahan yang akan ditanam kembali. Selain itu, kebakaran di wilayah hutan kemungkinan terjadi disebabkan oleh rambatan api, akibat petani membuka lahan pertanian di areal sekitar hutan. Tingkat kerusakan bervariasi di areal yang berbeda, dari kebakaran bawah yang merambat perlahan di hutan primer sampai pengrusakan yang menyeluruh di areal yang baru saja dibalak dan di hutan-hutan rawa gambut. Sekitar 73.000 ha hutan-hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang bernilai komersial, mengalami kerusakan berat dan 2,1 juta ha lainnya mengalami kerusakan ringan atau sedang. Tingkat kerusakan kebakaran secara langsung berkaitan dengan tingkat degradasi hutan: hanya 11 persen dari hutan-hutan primer yang tidak dibalak pada areal yang dipengaruhi oleh kekeringan dan kebakaran yang sesungguhnya terbakar. Kerusakan terjadi sebatas vegetasi bawah, dan hutan sama sekali tertutup kembali menjelang tahun 1988. (Hess,1994). Sebaliknya, di kawasan yang luasnya hampir satu juta ha pada areal hutan 'yang dibalak secara sedang' (80% dibalak lebih dulu sebelum kebakaran), 84% hutan terbakar, dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih hebat (Schindler dkk, 1989). Suatu perkiraan menghitung biaya akibat kebakaran tahun 1982-1983 sekitar, 9 miliar dolar, dimana hampir 8,3 miliar dolar berasal dari hilangnya tegakan pohon (Hess,1994).

Kebakaran yang luas kembali terjadi beberapa kali dalam dekade berikutnya, setelah kebakaran hebat di Kaltim pada tahun 1982-1983. Lalu pada tahun 1991 terbakar (dibakar) hutan seluas 500.000 ha dan hampir 5 juta ha pada tahun 1994 (BAPPENAS, 1999). Walaupun berbagai studi mengenai kebakaran hutan sudah dilakukan, namun belum banyak kemajuan yang dicapai untuk mengatasi masalah ini di Indonesia. Alasannya antara lain kerancuan kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang dampaknya terhadap ekosistem, dan kekaburan tentang berbagai penyebab kebakaran hutan sebagai akibat ketidakpastian tanggapan secara ekonomi dan kelembagaan terhadap kebakaran hutan.

Setelah bencana El NiƱo Southern Oscillation (ENSO) 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati. Pencemaran kabut asap merupakan masalah berulang bahkan selama tahun-tahun ketika peristiwa ENSO di Indonesia dan negara-negara tetangganya tidak terjadi. Selama peristiwa ENSO 1997/98, Indonesia mengalami kebakaran hutan yang paling hebat di dunia. Masalah yang sama terulang pada tahun 2002. Kebakaran hutan dan lahan tempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi karbondioksida (CO2) terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan kuantitas emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton karbondioksida per tahunnya atau menyumbang sepuluh persen dari emisi karbondioksida di dunia. Dari pembersihan sampah dalam penebangan liar di lahan gambut saja, Indonesia menghasilkan 632 juta ton CO2 setiap tahunnya. Dari kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun, CO2 yang dihasilkan mencapat 1.400 juta ton. Jadi total sekitar 2.000 juta ton CO2 setiap tahunnya dari Indonesia. Demikian hasil penelitian Wetlands International, organisasi yang bergerak di bidang pelestarian dan pengelolaan lahan basah di dunia, serta laboratorium hidrolika di Delft, Belanda. Menurut Direktur Teknik Wetlands Internasional Indonesia Programme, I Nyoman Suryadiputra, efek dari kebakaran hutan sejak tahun 1998 ini telah merubah posisi Indonesia sebagai negara penghasil karbon dari urutan 21 menjadi urutan ketiga.

Dampak Degradasi dan Deforestasi
Aspek Ekologi: kekeringan, kebakaran hutan, banjir, erosi, tanah longsor, climate
change, hilangnya keanekaragaman hayati.
Aspek Ekonomi: berkurangnya ketersediaan bahan baku, menurunnya industri perkayuan,
menurunnya lapangan kerja, menurunnya pendapatan masyarakat, menurunnya
pendapatan negara.
Aspek Sosial: perubahan tata nilai, menguatnya potensi konflik sosial

Dampak selanjutannya mulai sejak tahun 1990 semakin menurunnya kontribusi sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, terindikasi dari jumlah unit pemanfaatan hutan dari 560 (1990) menjadi 270 (2002). Izin produksi juga menurun dari 27 jt m3 (1990) menjadi 5,8 jt m3 (2005). PNBP menurun dari Rp 3,33 triliun (1999) menjadi Rp 2,72 triliun (2003). Klaim internasional, Indonesia penyumbang CO2 terbesar ke-4 akibat degradasi dan konversi hutan.

Statement Menhut, MS Kaban: "Areal hutan gundul nasional seluas 59 juta ha dari total lahan hutan seluas 120 juta ha. Dibutuhkan waktu selama 60 tahun untuk melakukan rehabilitasi hutan gundul itu dengan catatan satu juta lahan direhabilitasi setiap tahun." Ada 762 titik rawan longsor di pulau Jawa tersebar di 5.075 desa di 69 kabupaten
Ada 458 DAS perlu prioritas: 60 DAS prioritas !, 222 DAS prioritas II, 176 DAS prioritas III

Perambahan kawasan huta zona inti DAS
Ada 11 provinsi berpotensi longsor dan banjir bandang
Sebanyak 410 kabupaten/kota di Indonesia tidak taat melaksanakan tata ruang yang mengatur peruntukan lahan Indonesia memiliki sedikitnya 90 satuan wilayah sungai, hanya sungai Brantas di Jawa Timur dan Jatiluhur di Jawa Barat yang mempunyai prasarana waduk yang memadai

TREND meningkatnya komoditas minyak sawit dari 2.200.000 ton/ tahun menjadi 40.000.000 ton pada tahun 2020. Jika permintaan itu akan dipenuhi, maka dibutuhkan 300.000 ha perkebunan baru yang harus ditanam setiap tahun selama 20 tahun mendatang. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit baru tersebut akan berada di lahan basah dan gambut, karena lahan kering yang disukai sudah habis digunakan. Bagian terbesar dari lahan baru tersebut berasal dari Indonesia, karena: banyak lahan dan tenaga kerja, Sumatera akan menampung 1.6 juta ha dari perluasan tersebut disebabkan oleh banyak tersedia sarana dan prasana yang relatif bagus dan memiliki pusat tenaga kerja terlatih.

Departemen Pertanian sangat mendukung perluasan perkebunan kelapa sawit, karena peluangnya:
-Sekitar 400 ribu karyawan dipekerjakan secara tetap oleh perkebunan. Lebih dari 500
ribu petani mendapat pendapatan dari pola kerjasama antara petani dan perkebunan
-Dengan sistem produksi hilir dan penambahan industri pelayanan, jumlah penduduk
(pekerja dan keluarganya) yang tergantung pada keberhasilan perkebunan kelapa sawit
tersebut di Indonesia sekitar 4,5 juta orang.
-Dari penjualan kelapa sawit saat ini menyumbangkan $1,7 miliar pada perekonomian
Indonesia (Sumatera $1,4 miliar). Angka tersebut diharapkan meningkat tajam dengan
pemulihan harga dari rendahnya harga selama kurun waktu 15 tahun.

Secara teori membangun perkebunan kelapa sawit bukanlah barang haram yang patut diganyang. Lihat saja naskah ideal dari Komisi Minyak Sawit Indonesia pada suatu lolakarya lokakarya dalam memberikan masukan pelaksanaan prinsip dan kriteria RSPO di perkebunan kelapa sawit rakyat di Riau pada 16 Agustus 2006. Peserta aktifnya dari NGOs: Yayasan Elang, Yayasan Mitra Insani, Yayasan Alam Sumatera, Jikalahari, Yayasan Kaliptra, Hakiki, WWF Riau, Aliansi Masyarakat Adat Riau; dari perwakilan petani: Aspekpir, Kab. Rokan Hilir, Kab. Siak, Kab. Indragiri Hilir; dan dari Pemerintah: Dinas Perkebunan Provinsi Riau.

Selain itu pihak industri besar perkebunan kelapa sawit sudah dimaklumatkan tentang pedoman HCV 1 Kawasan hutan yang mengandung konsentrasi nilai-nilai keragaman hayati yang dianggap penting secara global, regional maupun nasional (seperti: endemis, spesies yang terancam punah, refugia).
HCV 2 Kawasan hutan luas yang penting secara global, regional dan nasional.
HCV 3 Kawasan yang berada didalam atau memiliki ekosistem-ekosistem yang langka,
terancam atau dilindungi.
HCV 4 Kawasan hutan yang menyediakan layanan atau jasa-jasa ekosistem yang penting
pada situasi-situasi kritis (misalnya: proteksi watershed, penahan erosi).
HCV 5 Kawasan hutan yang fundamental/sangat mendasar untuk memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat setempat.

Ditambah lagi warning adanya interaksi konversi kawasan lindung atau hutan penyangganya menjadi perkebunan, peningkatan resiko kebakaran, peningkatan keterbukaan kawasan lindung, peningkatan pembalakan liar, pembunuhan satwa dilindungi untuk melindungi perkebunan, perusakan koridor biologi, pengeringan rawa yang berfungsi penting, fragmentasi hutan, penanaman lereng dan pinggiran sungai, aplikasi pestisida berlebihan karena tidak menggunakan PHT dan pemupukan tidak sesuai norma, perburuan dan penangkapan ikan liar.

Artinya secara regulasi, di atas kertas dan teori, kita sudah baik dalam upaya menjaga wilayah hutan dan lahan kita dari kehancuran. Tapi apa lacur, keadaan di lapangan tidak semudah teori. Tidak semua para pemangku kepentingan yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit konditenya baik. Lihat saja peristiwa kabut asap dan banjir yang selalu melanda daerah Riau. Belum lagi hancurnya unsur hara dan kesuburan tanah akibat menanam kelapa sawit. Kalau dihitung untung-ruginya, mungkin lebih banyak kerugian dan dampak buruk yang mendera mereka, ketimbang keuntungan finansialnya. Kerusakan dan keterpurukan ekologis dan ekonomi di Riau adalah contoh klasik yang sama sebangun dengan wilayah lainnya di tanah air.

Kasus Padi Sonor di Sumatera Selatan
Kedatangan gejala alam El Nino yang memicu musim kemarau, tidak selamanya menjadi momok yang menakutkan bagi petani. Bagi sebagian petani Sumatera Selatan (Sumsel), El Nino justru menjadi berkah tersendiri. "Gejala alam El Nino yang disertai dengan datangnya musim kemarau, justru bagi sebagian petani Sumatera Selatan merupakan rahmat. Datangnya musim kemarau berarti petani bisa memanfaatkan lahannya untuk menanam padi Sonor," kata Ir Amiruddin Inoed Asisten I Setwilda Propinsi Sumatera Selatan. Di daerah ini ada lebih dari 100.000 ha lahan yang bisa ditanami padi Sonor. Lahan tersebut merupakan areal rawa yang kering saat kemarau tiba dan bisa ditanam padi di atasnya. Sementara itu bagi sawah irigasi dan tadah hujan, jika musim kemarau tiba berarti mereka tidak bisa menanam padi. Penanaman padi Sonor dilakukan dengan cara sangat mudah, petani membakar lahannya, kemudian menebar benih. Dari kasus kemarau panjang yang memicu kebakaran hutan pada tahun 1997 lalu, Sumatera Selatan bersama Jambi dan Lampung adalah penyumbang titik api terbanyak. Kemudian asapnya membentuk kabut asap yang menutupi negara tetangga Malaysia dan Singapura. (Kompas, Kamis, 15 Maret 2001).

Berdasarkan pantauan satelit NOOA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution radiometer) yang dikembangkan oleh lembaga antariksa Amerika (NASA) sejak tahun 1978 untuk pemantauan iklim dan kelautan global. Hasil pemantauannya menunjukkan, setelah enam bulan membakar lahan, nampaklah areal yang dipakai untuk menanam padi hanya sekitar 40% dari areal yang dibakar rakyat. Artinya lebih dari 50% lahan dibakar dan terbakar secara sia-sia.

Pembalikan Teori Penyelamatan Hutan
Perubahan paradigma pemerintah dalam menyelamatkan hutan, harus sama dan sebangun dengan memberikan peluang dan peningkatan kesejahteraan bagi jutaan rakyat di sekitar hutan. Rakyat sebagai subyek. "Laju degradasi hutan dari tahun ke tahun terus meningkat. Penciutan hutan sudah mencapai 1,6 - 2,8 juta hektar pertahun. Bahkan perambahan hutan telah memasuki kawasan konservasi yang seharusnya senantiasa terjaga kelestariannya. Berdasar kajian yang dilakukan, saat ini terdapat sekitar 10,2 juta masyarakat miskin hidup di sekitar hutan," DirJend PHKA, Departemen Kehutanan RI M Arman Mallolongan.

Mengingat hubungan ketergantungan yang tinggi antara keutuhan hutan dengan kelangsungan hidup masyarakat, karena itu masyarakat yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan konservasi harus dibina peran sertanya secara keberlanjutan. Ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dalam upaya mewujudkan keutuhan dan kelestarian kawasan konservasi sebagai benteng terakhir sistem penyangga kehidupan. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi merupakan tanggung jawab bersama. Karena itu keterpaduan program dan komitmen semua pihak dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi mutlak perlu dilakukan (Kedaulatan Rakyat, 24 November 2006).

Artinya, kalau kita semua ingin menjaga hutan dan lahan kita dari praktik penebangan liar (illegal logging), penyelundupan kayu, kebakaran hutan, longsor, kebanjiran, konflik kawasan, perambahan hutan, dan lain-lain maka kita wajib memberdayakan 10,2 juta penduduk miskin yang bermata pencaharian langsung dari hutan (sekitar 6 juta juta orang) dan sebanyak 3,4 juta orang lainnya yang bekerja di sektor swasta kehutanan. Program reboisasi penghutanan kembali 55 juta hektar lahan gundul yang akan tuntas paling tidak 27 tahun mendatang membutuhkan biaya Rp 4,2 triliun per tahun. Seyogyanya multi-years program dan multi-years project ini melibatkan sebanyak-banyaknya penduduk miskin di sekitar hutan.

Pola pemberdayaan banyak ragamnya dalam kerangka program pembinaan kesejahteraan masyarakat. Misalnya melalui Reboisasi hutan gundul yang dikelola oleh Perum Perhutani di wilayah DAS. Sebab pada area tangkapan (catchment area) suau DAS, kerusakan hutan masih dapat ditoleransi sampai batas 15%. Jika kerusakan hutan lebih dari 15%, prasarana pengairan pun tidak dapat berfungsi. Waduk juga tidak berfungsi pada area DAS yang kerusakan hutan resapannya lebih dari 15%. Usulan agar Perhutani dan PTPN mengindentifikasi lahan-lahan mereka yang berada pada kemiringan 30 persen untuk didistribusikan kepada petani miskin. Selanjutnya dibangun kesepakatan untuk mengembangkan budidaya tanaman yang produktif dan mampu menstabilkan tanah, agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana di masa mendatang.

Atau model kerjasama Perum Perhutani dengan satu LSM Lembaga Studi Ekosistem Hutan (Lesehan) yang berkedudukan di Madiun.untuk melakukan penghijauan Kecamatan Bringin, Kab. Ngawi, Jawa Timur yang gundul pada akhir tahun 1998. Sebagai imbalan atas jerih payah mereka, Perhutani memang tak memberi upah harian, melainkan mereka dibolehkan memanfaatkan 1/3 lahan hutan Perhutani tadi untuk ditanami tanaman pertanian, Inisiatif model penanaman selangseling yang lazim disebut "model plong" atau alley cropping. Dengan model plong, kawasan hutan Perhutani dibagi dua jalur, jalur tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Pada jalur pertanian, para petani mendapat bercocok tanam tanaman produksi berusia pendek. Itu sebagai konsesi atas tenaga mereka ikut menanam dan memelihara jati atau mahoni yang merupakan tanaman "wajib" di jalur kehutanan. Selain memperoleh lahan plong selebar sembilan meter, melalui kerjasama ini, tiap keluarga petani hutan berhak pula bagi hasil 25 % atas penebangan akhir daur pada jalur kehutanan. Sedangkan pada jalur pertanian, Perhutani mendapat bagian sebesar 5 % atas hasil penebangan akhir daur, dan 5 % untuk petugas lapangan Perhutani atas pemanenan tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan dan kayu bakar.

GRAND DISAIN menyelamatkan hutan Indonesia adalah pekerjaan yang amat besar. Semua institusi teknis baik pemerintah pusat dan daerah, kalangan industri perkebunan, migas, dan kehutanan, semua NGO, semua rakyat dan petani di sekitar hutan wajib dan harus mempunyai tekad, disiplin, dan pemahaman, yang sama. Terutama sekali praktik dan aplikasi di lapangan yang harus konsisten, utuh terintegrasi antar para pemangku kepentingan. Penerapan merit system atau punish and reward wajib hukumnya dan haram dilanggar. Sedangkan dukungan dan kerjasama internasional hanya bersifat suplemen.

Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang punya budaya malu dan tahu diri. Kita harus menjadi bangsa yang bermartabat dan mandiri, bukan bangsa kelas dua yang cuma bisa jadi koeli onderneming dan bukan bangsa pencuri.

Wahai, bukankan kita sudah tiba pada ‘ordo' 100 tahun kebangkitan nasional, dan sudah 63 tahun merdeka?

Kepustakaan, antara lain:
(1) Langkah Baru Petani Hutan Bringin: Geliat Pinggir Hutan Langkah Panjang Pengelolaan
Hutan Lestari Berbasis Masyarakat di Jawa
(2) Edisi Bahasa Indonesia dari "Forests, People and Rights, a Down to Earth Special
Report, June 2002
(3) Sumber lainnya

216 Kota Tepian Air dalam Bahaya: Iklim Terburuk Terjadi Tahun 2012?

Sepatutnya kita merenung, berfikir, dan mengkaji: kenapa alam jadi kronis, hancur berantakan. Manusia mengeksploitasi alam dengan rakus dan tamak, bak harta warisan nenek moyangnya. Ulah manusia, aktivitas manusia, keserakahan manusia, dan kebodohan manusia membuat alam nirwana menjadi neraka. Kezaliman (oknum) manusia yang berideologi kapitalis, komunis, maupun agamis, telah memborbardir bumi di barat, timur, utara, dan di selatan,. Sama saja, sama-sama tidak berbudi terhadap alam.

Selain itu, ada pula satu jenis gas buatan tangan manusia yang didaulat membuat nyaman ummat, namun setelah diproduksi besar-besaran dan menguntungkan negara industri, ternyata membuat petaka. Gas chlorofluorocarbons (CFC) namanya, menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2, penyebab rusaknya lapisan ozon. Lalu tiba-tiba para pemimpin dunia dan para ahli kaget, karena Dr. H. J. Zwally, seorang ahli iklim NASA membuat prediksi baru yang sangat mencengangkan: Hampir semua es di Kutub Utara akan lenyap pada akhir musim panas 2012. Artinya dunia bakal kiamat. Nah lho.

Prediksi yang amat buram
Bumi dipijak rasa beban, langit dijunjung rasa runtuh alias dunia seperti kiamat. Bagaimana tidak. Pasalnya, mencairnya es saat ini berjalan jauh lebih cepat dari model-model prediksi yang pernah diciptakan oleh para ilmuwan sebelumnya. Beberapa prediksi awal yang pernah dibuat memperkirakan bahwa seluruh es di kutub akan lenyap pada tahun 2040 sampai 2100. Tetapi data es tahunan yang tercatat hingga tahun 2007 membuat mereka berpikir ulang mengenai model prediksi yang telah dibuat sebelumnya. Para ilmuwan mengakui bahwa ada faktor-faktor kunci yang tidak mereka ikutkan dalam model prediksi yang ada. Dengan menggunakan data es terbaru, serta model prediksi yang lebih akurat, seorang Zwally, telah menggemparkan dunia.

Biang Keladi: CFC dan gas rumah kaca Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah "gas rumah kaca". Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya, agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat. Dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik, karena memiliki panas matahari yang cukup.

Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-rata -320 Celcius. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini, karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbeda-beda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2.

Contoh, sebuah molekul metan menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.

Pertanyaan kita, apakah kaum industrialis yang memproduksi CFC ikut menanggung beban kehancuran bumi? Mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan punya efek domino yang mengerikan. Siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global ini? Hingga saat ini negara-negara maju masih mendominasi emisi karbon, meski penduduk mereka hanya 15% dari penduduk dunia. Amerika Serikat, misalnya, meskipun pangsanya terhadap dunia secara persentase menurun, secara absolut sebenarnya terjadi peningkatan 25%. Lihat juga Rusia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Inggris. Mereka memiliki emisi karbon/kapita yang jauh di atas negara-negara dunia ketiga. Untuk dunia ketiga memang Cina dan India masih dominan.

Kenaikan tertinggi terjadi di Cina, yang dalam kurun waktu 1990-2004 naik dari 2399 metrik ton menjadi 5007 metrik ton atau naik 109%. Emisi karbon perkapitanya 3.8 ton karbon/kapita. Begitu pula India, kurun 1990-2004 secara absolut terjadi kenaikan sebesar 97%, meski pangsanya terhadap dunia hanya naik sekitar 25%. Mengingat jumlah penduduknya yang tinggi, menyebabkan emisi karbon kapita hanya 1.2 ton karbon/kapita tahun 2004. Sementara itu, Indonesia hanya kontribusi 1.3% tahun 2004.

Defakto 1: melelehnya es di dua kutub bumi
Baru-baru ini sebuah fenomena alam kembali menunjukkan betapa seriusnya kondisi ini. Pada tanggal 6 Maret 2008, sebuah bongkahan es seluas 414 kilometer persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya) di Antartika runtuh. Menurut peneliti, bongkahan es berbentuk lempengan yang sangat besar itu mengambang permanen di sekitar 1.609 kilometer selatan Amerika Selatan, barat daya Semenanjung Antartika. Padahal, diyakini bongkahan es itu berada di sana sejak 1.500 tahun lalu. "Ini akibat pemanasan global," ujar ketua peneliti NSIDC Ted Scambos.

Menurutnya, lempengan es yang disebut Wilkins Ice Shelf itu sangat jarang runtuh. Sekarang, setelah adanya perpecahan itu, bongkahan es yang tersisa tinggal 12.950 kilometer persegi, ditambah 5,6 kilometer potongan es yang berdekatan dan menghubungkan dua pulau. "Sedikit lagi, bongkahan es terakhir ini bisa turut amblas. Dan, separo total area es bakal hilang dalam beberapa tahun mendatang," ujar Scambos. Pemanasan Global berdampak langsung pada terus mencairnya es di daerah kutub utara dan kutub selatan. Es di Greenland yang telah mencair hampir mencapai 19 juta ton. Volume es di Artik pada musim panas 2007 hanya tinggal setengah dari yang ada 4 tahun sebelumnya!

Defakto 2: meningkatnya level paras laut dan dampaknya di Indonesia
Mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan berdampak langsung pada naiknya level permukaan air laut (grafik di samping menunjukkan hasil pengukuran level permukaan air laut selama beberapa tahun terakhir). Para ahli memperkirakan apabila seluruh Greenland mencair. Level permukaan laut akan naik sampai dengan 7 meter! Cukup untuk menenggelamkan seluruh pantai, pelabuhan, dan dataran rendah di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita perlu waspada, karena berdasarkan data Kementerian Pemukiman dan Wilayah dari 516 kota diselurah Indonesia 216 diantaranya merupakan kota tepian air (water-front city) yang berada ditepi laut, sungai dan danau, bahkan banyak kota-kota di Indonesia yang berakar dari aktivitas perdagangannya di atas air seperti kota-kota di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Hilangnya pulau-pulau kecil merupakan ancaman langsung, tidak saja berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi dan ekosistem juga terhadap geopolitik kita, mengingat pulau terluar merupakan pijakan penting dalam menentukan batas wilayah dengan negara lain. Selain kenaikan permukaan air laut, peningkatan suhu air laut juga akan berdampak pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut.

Secara umum dengan meningkatnya suhu sebesar 1.5-2.50 celcius, maka 20-30% species tumbuhan dan hewan terancam. Untuk ekosistem pesisir dan laut, terumbu karang dan mangrove kini mulai terancam. Akibat El-Nino tahun 1998 saja sekitar 16% karang dunia rusak, antara lain berupa pemutihan (bleaching). Kini, Indonesia memiliki 50 ribu km2 terumbu karang atau sekitar 18% dari luasan terumbu karang dunia. Namun demikian kerusakan terumbu karang di Indonesia tidak hanya karena faktor iklim, tetapi juga karena pengaruh ulah manusia (antropogenik) baik melalui praktek pengeboman maupun sedimentasi, dan seterusnya.

Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Indonesia (2005), kita memiliki 590 spesies terumbu karang. Dengan terumbu karang seluas 50 ribu km2, sekitar 5.83% sangat baik, 25% baik, 36.59% sedang, dan 31.29% rusak. Rusaknya terumbu karang tersebut akan sangat mengganggu kegiatan sosial ekonomi masyarakat, mengingat terumbu karang memiliki fungsi sebagai tempat pemijahan dan bertelur, sehingga sangat mempengaruhi stok ikan. Bayangkan, sekitar 30 juta nelayan di dunia tergantung pada ikan-ikan karang. Dan, setengah kebutuhan protein dan kandungan gizi untuk 400 juta orang miskin di dunia disuplai dari ikan (UNDP, 2007). Belum lagi nilai ekonomi untuk wisata bahari. Kenaikan permukaan air laut juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Pada tahun 1990-an luas mangrove kita 9.2 juta hektar, dan tingkat kerusakan 57.6%. Rusaknya mangrove akan berdampak pada abrasi pantai karena tidak adanya penahan gelombang.

Begitu pula pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya penyaring polutan, dan berbagai spesies juga hilang. Serta, kegiatan budidaya perikanan tradisional akan terancam dengan sendirinya. Kejadian banjir sepanjang jalan tol bandara beberapa waktu lalu adalah bukti kerugian akibat rusaknya mangrove di pesisir utara Jakarta.

Studi kasus di pulau Jawa.
Sedikitnya ada 63 kabupaten atau kota berada di sepanjang pantai utara dan selatan Pulau Jawa. Jumlah penduduk yang tinggal di sepanjang pesisir Jawa tidak kurang dari 74,9 juta jiwa, atau sekitar 65 persen dari total penduduk Pulau Jawa. Mereka kini terancam banjir rob, erosi, dan intrusi air laut yang bisa muncul sewaktu-waktu. Padatnya penduduk itu tidak lepas dari tren pertumbuhan penduduk pesisir Pulau Jawa di era tahun 1990-an hingga 2000-an, terjadi peningkatan sekitar 2,2 persen, atau lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk rata-rata nasional. Contoh yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Pemerintah Kota Semarang membuat daerah tangkapan air di tengah kota yang ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Sedangkan di Jakarta terjadi reklamasi dan pengurukan besar-besaran di kawasan resapan air, yang mengakibatkan banjir rob. Pasang air laut yang menyebabkan banjir rob tingginya bisa mencapai 2-4 meter. Jika peristiwa tersebut dibarengi dengan angin besar (badai), maka potensi terjadi banjir akan lebih besar. Apalagi jika terjadi hujan lebat yang berlangsung lama di daerah hulu.

Hasil analisis beberapa stasiun pasang surut di sejumlah daerah, antara lain Jepara, Jakarta, Batam, Biak, Ambon, dan Kupang selama sembilan tahun, menunjukkan rata-rata muka air laut (sea level rise/SLR) di kawasan tersebut naik sekitar 1-10 mili-meter (mm) per tahun. SLR mengakibatkan berubahnya fisik lingkungan. SLR, dapat menimbulkan genangan di lahan rendah dan rawa, abrasi, intrusi air laut ke sungai dan air tanah, kenaikan muka air sungai sehingga garis pantai mundur, perubahan pasang surut dan gelombang, serta perubahan endapan sedimen. SLR juga dapat merusak terumbu karang.

Studi kasus di Jakarta.
Pendapat ahli perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Armi Susandi tampaknya bisa membuktikan. Dia meramalkan pada 2050 nanti, 24 persen wilayah Jakarta akan terendam air laut secara permanen. Ramalan Doktor lulusan University of Hamburg itu merupakan buah penelitannya yang dilakukan sejak 2005 di Jakarta, khusus meneliti pengaruh perubahan iklim terhadap ibukota. Dia melakukan penelitian mengenai pengaruh perubahan iklim di Jakarta dengan menghitung laju kenaikan temperatur di Jakarta dan kenaikan muka air laut. Dosen yang merampungkan tesisnya mengenai perubahan iklim di Max Planck Institute of Meteorology itu, membuat satu model digital yang dapat menyajikan gambar tiga dimensi dari pengaruh penurunan muka air tanah dengan laju kenaikan muka air laut.

Dengan model buatannya itu, Armi meramalkan banjir permanen yang akan mengurangi luas wilayah geografis Jakarta dalam jangka panjang. Armi merancang modelnya itu dengan memasukkan faktor penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah yang terjadi di Jakarta sudah mencapai angka 0,85 centimeter per tahun. Faktor penyebabnya, penggunaan air tanah oleh warga Jakarta dan maraknya pembangunan gedung pencakar langit di ibukota.

Bandara Soekarno-Hatta akan hilang.
Penurunan tanah di Jakarta sudah terasa akibatnya. Menurutnya, sekitar 40 persen wilayah Jakarta sekarang ini lebih rendah dari permukaan laut. "Kebetulan kawasan itu berada di bagian utara Jakarta," katanya. Wilayah itu, tambahnya, kini terancam oleh banjir menahun akibat pasang surut air laut. Sementara kenaikan muka air laut dihitungnya dari mengolah data pencatatan periode ulang pasang surut air laut selama 17,8 tahun. Tren kenaikan muka air laut di wilayah Jakarta mencapai 0,57 centimeter per tahun. Hasilnya mencengangkan. Ternyata laju kenaikan penurunan tanah di Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan naiknya muka air laut.

Peneliti Indonesia yang menjadi salah satu pembicara kunci dalam pertemuan internasional mengenai Global Climate Change di Bali itu, memperlihatkan hasil estimasi banjir permanen yang akan terjadi pada 2050 nanti di wilayah Jakarta. Air laut secara permanen akan masuk ke dalam wilayah Jakarta sampai sejauh 8 kilometer. Untuk daerah yang rendah nggak bisa diselamatkan lagi. Banjir permanen itu akan merendam wilayah di antaranya Tanjung Priok, Bandara Soekarno-Hatta, Pademangan, Koja, Cilincing, hingga masuk ke Penjaringan. Armi juga memprediksi 24 persen wilayah di utara Jakarta, (banjir permanen) masuk sampai merendam ke jalan tol di Penjaringan, Tanjung Priok tidak berfungsi lagi, Bandara Soekarno-Hatta pun akan mulai hilang tahun 2035. Itu musibah yang terjadi, andai semua ramalan dari hasil penelitian Armi benar.
Kerugian lainnya yang didera Indonesia
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. [1] Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.

Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.

Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah: (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram' apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,[2] dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia[3].

Untung ada Dr. Zwally, ahli iklim NASA membuat prediksi baru yang sangat mencengangkan: Hampir semua es di kutub utara akan lenyap pada akhir musim panas 2012! Statement-nya diamini oleh banyak ilmuwan dunia yang pro Algore. Prakiraan Zwally setinggi ilmu bak seorang wali (songo) yang membuat shok terapi. Alam terkembang (tak) jadi guru. Kita harus kembali ke khitah, belajar dari alam dan apa yang terjadi didalamnya. Alam sudah krusial, ayoo belajar hidup harmoni dengan bencana! Living harmony with disaster.


(1) Britain's Meteorological Office (November 1999) dalam http://www.ecobridge.org.htm/
(2) Dengan kondisi pangan saat ini, Indonesia telah menjadi negara importir pangan dengan nilai sebesar Rp.16,62 trilyun (2000), sementara pada tahun 2035 diperkirakan tambahan ketersediaan pangan nasional lebih dari 2 x jumlah kebutuhan saat ini.. Dan apabila sentra-sentra pangan nasional tidak dapat dipertahakan keberadaannya , maka Indonesia akan menjadi nett importir pangan yang sangat besar pada masa mendatang.(Siswono, 2001)
(3) ADB (1994)